Yang akan terus tinggal di kepala
adalah senyum Ibuku.
Ketika aku mantra beracun tanpa penawar,
ketika aku semak belukar penghalau ketenangan,
ketika aku pedang berkilatan penggurat luka-lubang hatinya,
akhirnya tiba di persimpangan
tempat gelap berbaur terang yang merambat.
Ibu memberi pelita,
Ia bilang, “Ini ‘kan memandumu melesat”,
lalu aku terbang.
Tak pernah ku lihat panorama
seindah senyumnya kala itu.
Tak pula ku temui padanan
hangat peluknya sejak itu.
Namun manis yang kucecap pada hujan kecupan saat itu
masih bisa ku kenang secara syahdu..
Yang akan terus tinggal di kepala
adalah senyum Ibuku,
senyum lega melepas semua yang pernah dan tak pernah dimiliki di dunia.
Padahal aku merasa belum memberinya apa-apa.
Aku bahkan tak melakukan apa-apa,
selain merapikan baju dan mengikat tali sepatuku sendiri.
Sementara Ibu,
Ia t’lah menjelma segala,
mewujud pelita dalam jiwa,
denyut jantung dalam dada,
ruang megah dalam kepala.
コメント