top of page
  • Writer's pictureArya Kahar

Movie Review: The Secret In Their Eyes (2009)

Updated: Jul 8, 2020


image

Ungkapan “waktu akan menyembuhkan segalanya” tidak berlaku untuk Benjamin Esposito (Ricardo Darin). Kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa Liliana Colotto 25 tahun lalu masih terpatri dengan jelas di ingatannya. Sudah 2 tahun mencoba, namun upaya pensiunan pegawai pengadilan kriminal ini untuk menulis novel berdasar kasus tadi tak juga memberikan hasil. Gelisah. Ketakutan. Kasus yang pernah dia tangani itu telah berakhir buruk dan mengubah jalan hidup dan percintaannya.


The Secret In Their Eyes (Spanish: El Secreto de Sus Ojos) adalah film yang berisi dua setting waktu. Yaitu, waktu ketika Esposito menulis novelnya dan dua setengah dekade sebelum itu, masa di mana dia masih mengerjakan kasus yang saya sebutkan di atas bersama atasan dan mitra kerjanya, Irene Menéndez-Hastings (Soledad Villamil) dan Pablo Rago Sandoval (Guillermo Francella). Alur ceritanya bergerak zig-zag, lampau-sekarang saling bergantian dimulai sejak awal film, tapi tidak membingungkan sama sekali, malah memberi kesan dinamis.


Berbeda dengan crime thriller pada umumnya, film garapan Juan José Campanela yang terinspirasi dari novel karya Eduardo Sacheri, La preguntaq de sus ojos (The Question in Their Eyes) ini tidak hanya bercerita soal pembunuhan, misteri dan upaya pencarian sebuah kebenaran semata, ada subplot lain tentang cinta terpendam yang begitu kental lalu akhirnya dilebur dengan sempurna bersama sedikit sindiran-sindiran politik Argentina pada era Dirty War (1976-1983), yaitu masa-masa kelam di Argentina di mana banyak sekali tindak kriminal yang lepas dari jerat hukum.

image

The Secret In Their Eyes membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam untuk menyelesaikan kisahnya, mungkin bukan durasi yang sebentar untuk crime thriller yang biasanya cepat. Yes, itu dia. Film ini memang tidak biasa. Pada ranahnya sebagai tontonan thriller, film ini justru hadir dalam kadar yang biasa-biasa saja dan tak dipaksakan untuk berbelit-belit. Tanpa kompleksitas cerita yang memusingkan, meski twist tetap ingin dihadirkan pada penutupnya. Kasus kriminal pun digarap dan dipecahkan dengan jalan yang tidak terlalu istimewa, hanya lewat firasat dan pandangan mata. Uniknya lagi, roh film ini sejatinya justru ada pada sisi melodrama antara Irene dan Benjamin.

image

Ah, walaupun terasa sesak dan lambat, anehnya film pemenang Oscar ke-82 untuk Best Foreign Language Film ini tidak terasa membosankan, setidaknya buat saya yang begitu menikmati bagaimana Campanella sukses membuat saya terjaga dengan menyelipkan banyak kejutan-kejutan menarik dan suspense yang terjaga baik  hingga penutupan melalui pemilihan sudut-sudut kamera yang cantik dan pengunaan long take rumit (lihat adegan panjang di stadion sepak bola) atau sekedar menyimak dialog-dialog cerdasnya, permainan kata yang banyak menyimpan petunjuk penting termasuk simbolisasi yang menyinggung kepribadian setiap karakternya, atau kesamaan karakter antara pemeran satu dan lainnya yang pada dasarnya berada di pihak yang berseberangan. Bahkan kadang, kejutannya adalah tidak ada kejutan. Tipuan pikiran.


Memadukan kisah menarik tentang kasus pembunuhan, satir politik, romansa dan karakter-karakter yang kuat, maka saya lebih suka menyebut The Secret in Their Eyes sebagai sebuah romantic crime thriller ala Argentina. Kejutan-kejutan yang dibungkus dengan kualitas naskah dan pengarapan yang apik. Sulit buat saya untuk tidak menyukainya, tidak peduli seberapa lamban ia bergerak.


Pablo R. Sandoval: A guy can change anything. His face, his home, his family, his girlfriend, his religion, his God. But there’s one thing he can’t change. He can’t change his passion…
2 views0 comments

Comments


bottom of page