top of page
  • Writer's pictureArya Kahar

Jakarta Punya Cerita


image

Prihandoko dan Danar Sadewa


Bersyukur banget bisa kenal dua sosok sederhana dalam foto ini. Manis getir Jakarta telah mereka telan sejak lahir. Suatu saat nanti akan menjadi bekal pokok yang diselipkan dalam botol susu & tas sekolah anak mereka, katanya.

Mulai dari betapa kebalnya mereka sebagai anak kampung dahulu. Mandi hujan berlumur lumpur, setengah telanjang bermain bola di empang kosong setelah sebelumnya menikmati ranum jambu monyet yang dipetik sendiri di pohon tetangga. Haha. Hal yang menjadi jarang di Jakarta yang dilanda krisis lahan sekarang ini.

Tentang betapa berang dan pemarahnya orang Jakarta. Macet mengubah orang menjadi sangat terburu-buru dan harus bermental baja. Walau tidak semuanya tapi kebanyakan seperti itu. Sangat takut hilang waktunya di jalan beberapa saat, meski itu berakibat “hilang” nyawa di jalan dalam sekejap.

Betapa mudahnya segepok uang masuk ke dalam kas, hanya dengan mengiyakan ajakan “main” ke rumah/apartemen “tante” yang baru ditemui setelah mereka bantu bawakan kantong belanjaannya di pasar.

Sampai tentang betapa murahnya harga nyawa di jalanan Jakarta. Teman tewas setelah bentrok dengan supir dan kenek metro mini karena membayar kurang seribu rupiah. Sekian tentang Jakarta.

Suatu waktu, setelah meladeni sumpeknya sistem dan pekerjaan, saya rehat bersama dua orang ini. Lalu tercipta percakapan di antara mereka; “kalau diberi kesempatan dan mampu, lo mau pindah ke negara mana?” – Mau ke negara apa aja selama masih di benua Afrika. Benua itu kaya dan makmur banget sebenarnya, kalo ga percaya coba cek sejarah, tinggal pintar2nya kita aja. Lo ke mana? – “Kalo gue ke Denmark, tinggal di pedesaan aja bareng opa-opa. Hidup dari hasil kebun atau apapun, selama kerja tangan sendiri.” Saya menyela dan bertanya: ‘kenapa ga di Indonesia aja? Kan negara juga.’ Mereka tertawa geli lalu menjawab: “Lah, itu mah bukan negara, Ya. Iseng-iseng doang.”

0 views0 comments

Recent Posts

See All

Mudik

Seorang pria bergerak dari kota, menuju kampung halamannya. Alih-alih bahagia, Ia bermuram durja. Bukan bentuk kecewa, apalagi...

Ledakan Besar

Sesuatu terjadi Aku bergerak lambat Melandai Lembah panjang berbelikat Sesuatu terjadi Aku, waktu, seluruh terhenti Mata kita berlaga Oh,...

Comments


bottom of page