top of page
  • Writer's pictureArya Kahar

Platonic Love

Saya tadi di kamar mandi dan memikirkan tentang perempuan (lagi). Saya rasanya begitu ingin bercerita kepada orang lain mengenai keresahan yang saya rasakan tentang perempuan. Tak ada orang tepat, dan di sini lah saya.

Saya termasuk orang yang begitu gampang tertarik pada perempuan. Tentu, ini dalam konteks fisikis saja, bukan psikis apalagi intelektualitas. Dan ini lah yang membuat saya semakin resah.

Saya yang kerap tertarik pada fisik ini selalu menjadi ragu untuk mendekati pemiliknya dari dekat. Mungkin karena saya begitu tak ingin penilaian saya terhadap kualitas pikirannya menjadi rancu karena nafsu yang keburu memburu. Lebih jauh lagi, takut jika kiranya saya sampai menipu diri untuk meloloskan misi mendapatkan sang buruan tersebut.

Ya, di sini lah letak permasalahannya. Dalam beberapa kasus, saya masih sangat primitif, melihat perempuan sebagai objek buruan saja. Seperti pemburu pada hewan buruannya. Menjijikkan sekali bagian diri saya yang ini. Sementara sebenarnya ini pula lah yang hendak saya lawan: menjadi primitif dan penuh sifat kebendaan, begitu butuh akan perasaan memiliki dan dimiliki.

Sebenarnya, jauh di dalam benak pikiran saya, saya mendambakan perempuan yang dingin, rasional, dan acuh tak acuh. Yang mampu mengimbangi saya yang aneh. Yang membuat saya seperti menghadapi teka-teki silang kalau menghadapinya. Yang memuaskan dan menguji intelektualitas saya.  Perempuan yang padanya berjalan beragam persoalan. Perempuan cerdas yang bisa menjadi kawan sekaligus lawan dalam memahami hidup dan seisinya.

Punya pacar cantik dan good looking tentu sebuah kebahagiaan tersendiri bagi manusia. Namun menurut saya jika itu tidak dibarengi dengan kesamaan intelektualitas, frekuensi dan atau minat, maka hubungan itu pasti akan hambar dengan sendirinya dan kandas begitu saja. Ini mungkin hanya akan membuang waktu saja.

Bercinta itu ibarat menyemai batang mawar. Keterkaitan emosi dan intelektualitas adalah airnya. Hubungan fisik dan seksualitas hanya keindahan-keindahan yang tampak dari luarnya saja. Tanpa air, keindahan-keindahan itu akan layu lebih cepat, mati karena kondisi yang tidak normal.

Dilema.

Dari seorang perempuan saya sebagai lelaki memerlukan kepuasan seksual dan intelektual. Soal ini karena tradisi pribadi pada seorang wanita. Kadang kala saya merasa menjadi manusia yang primitf, membutuhkan physical and emotional love that make me feel like a man. Dan kadang pula semua itu menjadi platonic love-sense of responsibility.

Tentu tulisan ini bukan tanpa alasan. Dua tipe perempuan itu sedang saya hadapi saat ini.

Ah… saya harus menjauh dulu, mengambil jarak dahulu. Istilah kasarnya, menjadi buaya kembali.

Begitu saja…

0 views0 comments

Recent Posts

See All

留言


bottom of page